Namun setelah semua gaun mewah ditanggalkan, kuda-kuda penarik kereta kencana yang elegan dikandangkan kembali, dan para tetamu agung meninggalkan Istana Buckingham, hanya sedikit yang menyetujui bahwa pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton si jelata, punya arti khusus bagi Inggris.
Mereka yang ikut turun ke jalan-jalan di kota London dan berpesta demi kedua mempelai dilihat sebagai usaha untuk menghidupkan kembali monarki di Inggris.
Tetapi bagi yang lain, mperayaan itu adalah gambaran buruk bagi Inggris sebagai sebuah negara. Sisanya malah tidak menganggap pernikahan itu memiliki arti apa-apa.
"Menyaksikan perayaan ini, sebuah pikiran lantas muncul, 'monarki Inggris telah kembali," kata presenter acara bincang-bincang CNN asal Inggris, Piers Morgan, seperti dikutip Reuters.
"Ini menandakan perubahan besar bagi negara itu," tulis Geordie Greig dalam surat Evening Standard yang terbit di London. "Ini adalah satu penyegaran yang sangat dibutuhkan oleh keluarga kerajaan."
Banyak yang percaya pernikahan itu telah menaikkan selera masyarakat Inggris yang sedang kusudt karena pemotongan anggaran belanja publik.
"Biaya pernikahan itu, termasuk keputusan dan keamanannya diperkirakan melampaui 20 juta poundsterling," tulis Mick Brown dalam Telegraph.
"Tetapi manfaatnya untuk memacu semangat kebangsaan, di tengah meningkatnya sinisme dan ketika rasa kebangsaan Inggris sendiri sangat rapuh, maka itu sangatlah tak ternilai," tulisnya lebih jauh.
Mereka yang melihat pernikahan itu faktor positif dan mengedepankan kepentingan 25 juta orang atau separuh rakyat Inggris, kemudian memutuskan menyaksikan pernikahan tersebut. Tapi, tidak terhitung juga yang mempermasalahkan biaya pernikahan itu.
"Di hari pernikahan, negara ini sedang menuju krisis identitas," catat Laurie Penny dalam blognya di New Statemen. Dalam blog itu dia juga mencatat banyaknya penangkapan yang dibuat di sekitar lokasi pernikahan, termasuk mereka yang akan berdemonstrasi.
"Jadi inilah Inggris pada 29 April 2011. Pernikahan pewaris kerajaan tua yang tidak lagi bergigi dirayakan dengan megah dan sebuah situasi di mana perbedaan pendapat dengan dalih apapun ditekan atau dihilangkan sama sekali," tukasnya lagi.
Republic, kelompok yang mengampanyekan alternatif demokrasi bagi sistem monarki Inggris, mengatakan bahwa lebih dari seribu orang menghadiri acara yang diselenggarakan Jumat lalu oleh mereka yang bertajuk, 'Bukan Pesta Pernikahan Kerajaan'.
Inggris telah mempunyai sistem monarki konstitusi sejak abad 18. Dalam sistem itu seorang raja atau ratu ditempatkan sebagai kepala negara, tetapi parlemen yang terpilihlah yang bertugas membuat hukum positif.
Selama jangka waktu itu negara tersebut pernah menggunakan sistem republik selama 11 tahun menyusul perang saudara Inggris dan hukuman mati atas Raja Charles I di abad 17.
Tetapi faktanya, meski popularitas beberapa anggota kerajaan semakin memudar dan terkikis selama bertahun-tahun, tentu saja salah jika mengatakan 'monarki telah kembali' karena sistem itu sebenarnya tidak perna hilang dari bumi Inggris.
Sebuah survey yang digelar Ipsos MORI untuk Reuters bulan lalu menunjukkan bahwa tigaperempat populasi Inggris tetap menginginkan negara itu menggunakan sistem monarki.
Jika pernikahan yang digelar Jumat pekan silam itu bukan merupakan dorongan untuk keluarga kerajaan Inggris dan bukan juga hukuman mati, maka hari itu akan menjadi catatan dalam sejarah sebagai pernikahan yang dirancang dengan megah yang ramai disaksikan di seluruh dunia.
Dalam editorialnya Guardian menulis, "Pernikahan itu bukan sebuah peristiwa yang bisa dilihat seperti cermin yang merefleksikan pengkerdilan satu subjek negara. Itu adalah satu pertunjukan yang dikelola dengan bagus, di mana tirai panggung naik turun dengan lancar. Sirkus itu datang dan pergi. Ia tidak mengubah apa pun." (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar