Abdullah II dari Yordania Raja ke-4
as-Sayyid Abdu'llah II bin al-Hussein al Hashimi, Raja Kerajaan Hasyimiyah Yordania (Arab: عبد الله الثاني بن الحسين) (lahir 30 Januari 1962 di Amman, Yordania) adalah Raja Hasyimiyah Kerajaan Yordania sejak 7 Februari 1999. Ia diklaim merupakan generasi langsung ke-43 dari Nabi Muhammad.
Abdullah merupakan putra langsung Raja Hussein dengan Putri Muna al-Hussein, terlahir Antoinette (Toni) Avril Gardiner. Ia memiliki 4 saudara dan 6 saudari.
Pendidikan
Pangeran Abdullah memulai pendidikannya di Islamic Educational College dan menerima pendidikan lanjutan di St. Edmund's School di Surrey, Inggris, Eaglebrook School di Massachusetts, kemudian di Akademi Deerfield di Amerika Serikat. Pada 1980, Pangeran Abdullah memasuki Royal Military Academy Sandhurst di Britania Raya, di mana ia menerima pendidikan militernya.
Pangeran Abdullah menamatkan universitas pada 1984, menjalani setahun kursus Studi Khusus di Politik Internasional dan Urusan Luar Negeri. Setelah kembali, ia melanjutkan kemiliterannya, menambah pengalaman dan bekerja pada jalannya sebagai Kapten dan Komandan Kompi Tank pada Brigade Lapis Baja ke-91. Antara 1986-1987, juga sebagai Kapten, ia bekerja pada Satuan Anti Tank Helikopter AU Royal Jordanian sebagai Instruktor Taktik, di mana ia menerima kualifikasi sebagai Pilot Helikopter Serangan Kobra.
Pada 1987, Pangeran Abdullah mengikuti Fakultas Dinas Luar Negeri di Universitas Georgetown di Washington, D.C., dan tinggal di tempat kerja sebagai Anggota Pertengahan Karier. Ia menjalani Studi dan Riset Lanjutan di Urusan Internasional di bawah bantuan M.Sc dalam Program Dinas Luar Negeri.
Karier militer
Saat kembali, ia diangkat pada Batalion Tank ke-17, Brigade Pengawal Kerajaan ke-2 dan di musim panas 1989, ia menjadi Batalion orang kedua dalam pimpinan, dengan pangkat mayor. Pada 1991, Pangeran Abdullah merupakan Perwakilan Baju Baja dalam Jabatan Inspektur Jenderal. Ia naik pangkat menjadi LetKol di akhir tahun dan mengambil komando Resimen Mobil Lapis Baja ke-2 pada Brigade ke-10.
Pada penyerahan batalion pada Januari 1993, Pangeran Abdullah naik pangkat sebagai Kolonel dan bertugas sebagai Wakil Komandan Angkatan Khusus Yordania. Pada Juni 1994, ia naik pangkat sebagai BrigJen, dan memikul komando Angkatan Khusus Kerajaan Yordania, setelah bertugas sebagai Wakil Komandan selama 6 bulan. Ia diangkat sebagai komandan pada Komando Operasi Khusus pada Oktober 1997, dan pada Mei 1998, ia naik pangkat sebagai MayJen.
Di samping kariernya sebagai opsir pasukan, Pangeran Abdullah telah bertugas di Yordania dalam banyak waktu dalam kapasitas resmi pengawas dalam absennya Raja Hussein, dan ia secara berkala berjalan dengan Raja Hussein. Sebelum naik tahta, Pangeran Abdullah mewakili Yordania dan ayahandanya dalam banyak kunjungan ke seluruh negara di seantero dunia, dan mengembangkan hubungan akrab dengan pemimpin dan pejabat sejumlah negara Arab selama kursus kariernya.
Pernikahan dan anak
Abdullah menikah dengan seorang kelahiran Palestina, Rania Al-Yassin (kini Ratu Rania al-Abdullah) pada 10 Juni 1993. Mereka memiliki empat anak:
* Pangeran Hussein (lahir 28 Juni 1994)
* Putri Iman (lahir 27 September 1996)
* Putri Salma (lahir 26 September 2000)
* Pangeran Hashem (lahir 30 Januari 2005)
Raja Abdullah merupakan pilot dan prajurit tentara payung terjun bebas. Perhatian lainnya ialah balap mobil (ia merupakan mantan Juara Balap Reli Nasional Yordania), olah raga air, penyelaman dan mengumpulkan senjata dan alat perang kuno.
Raja Yordania
Raja Abdullah memangku kekuasaan konstitusionalnya sebagai Raja Yordania pada 7 Februari 1999, hari saat ayahandanya, Raja Hussein bin Talal, mangkat. Raja Abdullah berfokus pada pembangunan warisan yang ditinggalkan Raja Hussein untuk institusionalisasi demokrasi Yordania di masa depan dan pluralisme politik, saat bekerja untuk keadilan dan perdamaian menyeluruh dalam iklim keterbukaan dan toleransi.
Karena sejak pendiriannya Yordania ditopang dari subsidi negara imperialis, kebijakan ekonomi penguasa Yordania tidak lebih selain mengikuti arahan para donatur yang memberikan utang. Jeratan utang ini pulalah yang menyebabkan ambruknya ekonomi Yordania. Atas nama reformasi ekonomi dan perbaikan kualitas hidup, Raja Abdullah II bekerja sama dengan IMF. Rezimnya juga melakukan liberalisasi perdagangan dengan menjadi anggota WTO (2000) serta melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Akibatnya yang menderita ialah rakyat. Utang luar negeri sebagian besar bocor dan masuk ke kantong penguasa. Dan investasi maupun cadangan berada dalam kontrol raja dan kroninya yang terdiri dari para tokoh maupun pejabat. Mereka melakukan utang luar negeri sesuai arahan IMF. Mereka melaksanakan apapun yang dituntut baik dalam masalah dana, budaya maupun sosial. Mereka mendanaianya dengan dana publik dari suap, spekulasi, maupun komisi. Selanjutnya, untuk menyempurnakan aktivitasnya, mereka menyempurnakan UU ekonomi, seperti tentang inestasi, privatisasi, otonomi wilayah Aqobah, pajak umum penjualan, dsb. Ini dilakukan di bawah jargon ‘perbaikan ekonomi’. Ini membuat adanya penjualan tanah dan perusahaan terhadap nonmuslim termasuk Yahudi. Ini mengakibatkan kefakiran, kelaparan, PHK massal, merajalelanya penyakit dan kehinaan. Saat utang itu telah jatuh tempo, untuk menutupi dan membayar bunganya, dengan bantuan pemerintah IMF menaikkan pajak maupun pungutan, meningkatkan harga, mengurangi dana publik dengan memensiundinikan pegawai negeri. Raja Abdullah juga mendukung perang melawan terorismenya AS dengan latih perang bersama antara tentara AS dengan Yordania. Ini kebohongan, karena AS mempersiapkan serangan serangan ke Irak dan penguasa Yordania memfasilitasi AS untuk itu. Sebagai imbalannya, hadiahnya ialah utang.
Tanpa mempertimbangkan hukum syari’at tentang larangan melakukan hubungan ápapun dengan muóuh yang sedang memerangi kaum muslimin, kecuali hubungan perang, pada September 2002 penguasa Yordania melakukan kerja sama dengan Israel. Mereka sepakat membangun saluran air dari Laut Merah ke Laut Mati. Proyek yang menghabiskan dana $800 juta ini merupakan kerja sama terbesar kedua negara.
Dalam Pemilu pertama di bawah pemerintahan Raja Abdullah II pada Juni 2003, dua pertiga kursi dimenangkan loyalis raja, yang kekritisan dan kekonsekuenannya untuk mengurusi urusan rakyat dipertanyakan.
Ratu Rania Menabur Citra Positif Kerajaan Yordania
Rania Al Abdullah adalah permaisuri Kerajaan Yordania, mengikuti statusnya sebagai istri Raja Abdullah II. Berlawanan dengan stereotip wanita dari kalangan jetset Arab yang gemar pamer kekayaan dan berfoya-foya, Rania dikenal luas sebagai sosok perempuan dengan kecantikan berstandar artis internasional, namun tetap bersahaja, cerdas dan aktif melakukan kegiatan sosial serta peduli pada isu-isu pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.
Aktivitas Rania dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Yordania, dan kontribusinya pada Millennium Development Goal (MDG) memberinya ganjaran sebagai salah satu dari 100 wanita paling berpengaruh di dunia versi majalah Forbes(urutan 76).
Ketika rakyat beberapa negara Timur-tengah lain yang berbasis monarki atau kediktatoran ramai-ramai berontak menuntut demokrasi penuh, Yordania sejauh ini hanya mengalami sedikit guncangan aksi massa kecil saja. Itu pun tidak menyasar keluarga monarki.
Kerajaan Yordania, walau tidak sekaya tetangganya Arab Saudi atau Uni Emirat Arab, bukanlah negara gagal macam Tunisia atau Yaman. Namun barangkali faktor terpenting yang membuat kondisi sosial-politik mereka tenang adalah karakter pemimpinnya yang mau turun ke bawah dan mengayomi. Mungkin faktor Rania adalah salah satu yang membikin rakyat Yordania agak rikuh untuk mendongkel rajanya... Namun bagaimanapun perkembangan ke depan tidak bisa ditebak.
Rania tidak berasal dari keluarga bangsawan. Dia bahkan bukan orang Yordania asli. Dia lahir di Kuwait pada 31 Agustus 1970 sebagai anak pasangan Palestina yang berasal dari Tulkarm. Nama sebenarnya adalah Rania al Yassin. Dia menempuh pendidikan di New English School di Jabriya, Kuwait, dan melanjutkan ke pendidikan tinggi di American University, Kairo, jurusan administrasi bisnis. Setelah lulus kuliah Rania bekerja di bagian marketing Citibank, sebelum kemudian pindah ke Apple Computer di Amman, ibukota Yordania.
Rania bertemu Raja Yordania Abdullah bin Al-Hussein – saat itu masih pangeran – pada sebuah pesta makan malam. Dua bulan kemudian mereka mengumumkan pertunangan, dan akhirnya menikah pada 10 Juni 1993. Pasca meninggalnya Raja Hussein, Abdullah naik tahta menjadi Raja Yordania pada 7 Februari 1999. Abdullah memproklamirkan istrinya sebagai permaisuri pada tanggal 22 Maret di tahun yang sama. Dengan demikian Rania memiliki status penuh sebagai Ratu. Ini berbeda dengan ibu tirinya, Muna al-Hussein yang tidak pernah diangkat sebagai ratu, sehingga statusnya hanya berhenti sebagai semacam selir raja.
Perkawinan Abdullah dan Rania membuahkan empat orang anak, yakni Putra Mahkota Hussein, Putri Iman, Putri Salma, dan Pangeran Hashem.
Rania dikenal sebagai figur perempuan aktif yang memiliki kemampuan istimewa dalam hubungan masyarakat, walau dia tidak memiliki pendidikan formal khusus untuk hal tersebut. Kedudukan sebagai ratu jelas sangat membantunya. Namun tentu dibutuhkan lebih dari sekadar kedudukan untuk bisa tampil sebagai teladan yang tulus. Talenta dan kepribadian individual yang hangat sangat berperan di sini. Dan Rania memiliki itu semua.
Ketika Abdullah naik tahta, pasangan raja dan ratu itu membawa pendekatan yang populis untuk monarki; suatu pendekatan yang lebih meniadakan jarak mereka dengan rakyat. Selain istana, keduanya kerap tinggal di rumah biasa yang terletak di daerah luar kota Amman. Dari situ Rania kerap melakukan kunjungan ke desa-desa terpencil di wilayah kerajaan. Perjalanannya tidak direncanakan dan tidak diumumkan sebelumnya. Dia cukup pergi menyetir sendiri mobilnya dengan disertai dua orang pengawal.
Bagi negaranya, Rania telah banyak berbuat sesuatu, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat. Pada 2005, bekerjasama dengan kementrian pendidikan ia dan raja meluncurkan program tahunan the Queen Rania Award for Excellene in Education yang memberi penghargaan kepada guru teladan. Pada 2008, dia melucurkan Madrasati, sebuah program untuk merenovasi 500 sekolah umum Yordania. Sang ratu juga bekerjasama dengan sejumlah universitas di seluruh dunia dalam sebuah program yang dinamakan the Queen Rania Scholarship Program, yakni program pemberian bantuan beasiswa bagi mahasiswa Yordania yang menempuh kuliah di universitas-universitas tersebut.
Di tingkat internasional, pada World Economic Forum tahun 2008 di Davos (Swiss), Rania meluncurkan kampanye "Empowering One Million Arab Youth by 2018". Pada tahun 2000 badan PBB untuk urusan anak-anak UNICEF mengundangnya bergabung pada Global Leadership Initiative. Bersama pemimpin-pemimpin dunia lainnya, antara lain mantan presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, Rania bekerja dalam sebuah gerakan global untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak
Namun di luar segudang prestasi dan aktivitas sosialnya, Rania juga tidak luput dari kritik dan sandungan. Pada saat pasukan Israel membombardir Gaza dan Tepi Barat, dia dicela karena justru pilih melawat keluar negeri. Terlebih yang menjadi sasaran serangan udara Israel adalah Tulkarm, kampung halaman orangtuanya.
Rania juga dituduh melakukan korupsi dan menyalahgunakan pengaruh politiknya untuk keuntungan keluarganya (nepotisme). Latar belakang Palestinanya juga kerap dipersoalkan secara tak langsung oleh beberapa pemuka masyarakat lokal Yordania, yang menuduhnya mengambil peran terlalu banyak dalam urusan negara dan secara tanpa hak telah memindahkan kepemilikan sejumlah tanah di Yordania untuk keluarganya.
Terkait masalah tanah yang dipersengketakan, 36 orang yang mengklaim diri sebagai pemimpin suku lokal mengeluarkan seruan kepada Raja untuk menyita tanah dan lahan pertanian yang telah diberikan kepada keluarga Yassin (keluarga Rania). Ini merupakan kasus pertama di Yordania di mana masyarakat berani melanggar tabu yang berlaku selama ini dengan menuntut secara hukum keluarga kerajaan.
Pengadilan kerajaan memutuskan menolak klaim mereka, dengan alasan bahwa 36 orang itu hanya mengaku-aku sebagai pemimpin sukunya (padahal bukan). Selain itu berdasarkan keterangan pada sertifikat tanah, pengadilan juga menolak tuduhan mereka mengenai pemindahan kepemilikan tanah pada keluarga Rania secara tidak sah.
Rania barangkali bukan figur yang sempurna macam gading mulus tiada retak. Namun dia adalah pribadi dengan kombinasi kemampuan dan kepekaan sosial yang tinggi; dua skill yang menjadi tuntutan dalam tugas-tugas hubungan masyarakat. Rania adalah staf PR nonformal yang luar biasa buat negaranya. Dan sejauh ini nampaknya pekerjaannya berhasil. Setidaknya penilaian kita atas Yordania agak lain dibanding jika kita melihat, misalnya, Libya atau Yaman.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar